Karangan Bunga dan Sastra Perlawanan

Hai, semoga tidak pernah bosan untuk baca blog aku yang lempeng-lempeng aja ya. Ini temanya masih tentang sastra perlawanan cuma kita ambil dari puisi karya sastrawan keren yang ada di Indonesia. Biar tambah tau, apa sih itu puisi ? Yuk, disimak.

Puisi.
Puisi (dari bahasa Yunani kunoποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) adalah seni tertulis dimana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya (Wikipedia bahasa Indonesia).
Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya.
Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru. Namun beberapa kasus mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan kata'. kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut. Puisi juga biasa disisipkan majas yang membuat puisi itu semakin indah. Majas tersebut juga ada bemacam, salah satunya adalah sarkasme yaitu sindiran langsung dengan kasar. Dibeberapa daerah di Indonesia puisi juga sering dinyanyikan dalam bentuk pantun. Mereka enggan atau tak mau untuk melihat kaidah awal puisi tersebut.

Guys, puisi yang akan kita bedah adalah puisi karya Taufik Ismail. Kenalan dulu yuk. 
Taufik Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia

Taufik Ismail melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.
Semasa mahasiswa Taufik Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar  sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky di Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufik menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966).
Taufik merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufik mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufik bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).  
Selayang pandang 
Sastra perlawanan merupakan sastra yang melawan situasi yang dirasa salah. Dalam hal ini, kekritisan sastrawan melihat keadaan yang sedang terjadi, dituangkan dalam karya sastra. Karya sastra dijadikan media untuk melawan maupun mengkritik sesuatu yang dianggap bertentangan dengan suatu aturan, nah salah satunya adalah puisi kaya Taufik Ismail yang berjudul Karangan Bunga. 
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Sore itu
(Taufik Ismail, Tirani, 1966)

Puisi Karangan Bunga tersebut akan dianalisis dengan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik adalah suatu pendekatan yang memerhatikan unsur simbol-simbol yang digunakan pada sebuah puisi. Menurut Charles Sanders Pierce, semiotika merupakan persamaan dari kata logika, dan logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Sedangkan menurut Teeuw semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.
Puisi Karangan Bunga, menggambarkan situasi yang sangat menyedihkan. Puisi Karangan Bunga menggambarkan situasi yang sedang dialami pada saat itu, tepatnya saat peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 yang menentang rezim Soekarno (orde lama).
Pada bait Tiga anak kecil/Dalam langkah malu-malu /Datang ke salemba /Sore itu, Tiga anak kecil yang mewakili golongan lemah, suci dan murni hatinya, yang sebenarnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi yang terjadi tanggal 24 Februari. Tiga anak kecil dengan langkah malu-malu datang ke Salemba dengan membawa karangan bunga untuk seorang pahlawan, yaitu seorang mahasiswa yang tewas tertembak oleh ‘para penguasa’ saat itu.
Selanjutnya pada bait Ini dari kami bertiga/Pita hitam pada karangan bunga, sangat jelas menggambarkan betapa pedulinya tiga anak kecil yang belum tahu apa-apa tentang persoalan peristiwa demonstrasi yang terjadi. Tiga anak kecil tersebut juga menggambarkan rasa sedih dan mereka turut berduka cita dengan membawa dan memberikan pita hitam yang berada dalam karangan bunga yang mereka bawa.
Pada bait Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang ditembak mati/Siang tadisudah bisa ditebak, bait ini menggambarkan sebuah kesedihan yang amat mendalam dirasakan oleh banyak pihak, termasuk tiga anak kecil yang membawa karangan bunga dengan pita hitamnya. Bait ini juga menggambarkan betapa tiga anak kecil yang sangat berduka cita dengan kejadian di Salemba. Tiga anak kecil sangat berduka cita dengan kejadian yang menewaskan mahasiswa FKUI. Mahasiswa itu adalah Arief Rahman Hakiem. Gugurnya Arief Rahman telah menjadikannya tumbal perjuangan untuk menurunkan rezim orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Bersambung. HEHEH

Di blog selanjutnya akan dibahas kembali masih dalam ruang lingkup yang sama, sastra perlawanan dalam puisi karya Taufik Ismail. Sampai nanti ~
Sumber :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memulai dari empati.

Mengulas, Si manis bergigi emas.

Pendidikan Era Digital