Nyai Dasima akhir dari sastra perlawanan
Sasper jilid III
Hallo, hari ini yang akan dibedah adalah novel
ke-3, novel yang menunjukan kritik sosial budaya yaitu novelnya Nyai Dasima
karya G. Francais. Tidak usah berlama-lama takut basi. Selamat menikmati.
Novel Nyai Dasima karya G. Francais sedikit
berbeda dengan novel sebelumnya. Jika Siti Nurbaya dan Salah Asuhan merupakan
bacaan ‘putih’ terbitan Balai Pustaka, Nyai Dasima adalah ‘bacaan liar’ yang
peredarannya tanpa seijin pihak colonial pada masa itu.
Intisari kisah
tersebut adalah nasib tragis seorang nyai (istri yang tidak dinikah resmi)
bernama Dasima dari Kampung Kuripan Batavia (sekarang Jakarta). Dasima sebagai
seorang gadis yang cantik telah dijadikan nyai oleh Edward W, seorang inggris
yang bekerja di sebuah toko. Mereka tinggal di daerah Gambir dan sudah delapan
tahun hidup berbahagia sebagai suami istri dengan seorang anak perempuan
bernama Nancy. Kecantikan Nyai Dasima ternyata memikat perhatian sejumlah
lelaki yang berminat menikahinya secara resmi. Akan tetapi, Nyai Dasima tetap
bertahan pada statusnya sebagai nyai, karena merasa telah dicukupi segalanya
oleh sang suami, bahkan pernah mendengar kehendak Edward untuk meresmikan
perkawinan meskipun terhalang oleh perbedaan agama.
Kemudian
muncullah tokoh Samiun, seorang kusir yang terpikat oleh kecantikan Nyai
Dasima dan berminat memperistrinya. Berhubung Samiun sendiri sudah beristri,
dipakailah alasan hendak menguras harta kekayaan Tuan Edward. Alasan itu
disetujui oleh istri Samiun dengan pernyataan bersedia dimadu. Persetujuan itu
pun memantapkan niatnya hendak memiliki Nyai Dasima.
Dalam
melaksanakan niat itu Samiun meminta bantuan Mak Buyung untuk membujuk Nyai
Dasima agar bercerai dari Tuan Edward. Mak Buyung yang ditawarkan sebagai
pelayan rumah tangga Edward berhasil menggoyahkan kesetiaan Nyai Dasima
sehingga berkeputusan meminta cerai dari Edward dengan alasan perbedaan agama.
Jadilah Nyai Dasima menikah dengan Samiun sehingga seluruh harta kekayaan yang
berasal dari Tuan Edward jatuh ke tangan Samiun. Sedihnya lagi, Nyai Dasima
diperlakukan sebagai budak dalam rumah tangga Samiun.
Sadar
akan kesalahannya, Nyai Dasima pun meminta cerai dari Samiun. Namun, permintaan
itu ditolak Samiun, kecuali jika seluruh harta menjadi milik keluarga Samiun.
Hal itu mendorong Nyai Dasima untuk mengadukan perkara kepada polisi dan
pengadilan. Ternyata ancaman itu membuat Samiun ketakutan dan timbullah niatnya
merencanakan pembunuhan. Dengan bantuan seorang pembunuh bayaran, Samiun
berhasil mengakhiri kehidupan Nyai Dasima. Mayatnya dibuang di kali yang
hulunya mengalir di belakang rumah Tuan Edward. Kebetulan pada esok harinya
mayat itu pun ditemukan orang tersangkut di belakang rumah tersebut sehingga
menjadi urusan polisi dan pengadilan. Dengan mudah, si pembunuh pun ditangkap
dan Samiun mengakui kejahatannya.
Dalam novel ini, sisi budaya dan sosial begitu
kental dirasakan. Adanya gundik pada masa itu menunjukan keterbukaan budaya
namun, hal ini dilakukan biasanya atas dasar politik dan uang. Penggunaan
guna-guna yang merupakan produk budaya menunjukan masih adanya tradisi luhur.
Dari segi sosial, menikahi seorang Belanda dapat menaikan derajat keluarga.
Selain itu ambisi Samiun untuk memperistri Nyai Dasima juga termasuk kedalam
upaya untuk mendapatkan gengsi sosial karena memperistri seorang yang begitu
cantik dan dengan tujuan harta.
Melalui novel ini, penulis ingin mengungkapkan
situasi sosial budaya masyarakat disekitar masyarakat yang kemudian dikemas
sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca dan membuat kita mencapai suatu
titik kesimpulan yang telah ditetapkan oleh penulis.
Selayang Pandang~
Perkembangan novel-novel perlawanan bertema
sosial budaya ini semakin pesat pasca kemerdekaan Indonesia. Walaupun sempat
kembali meredup pada masa orde baru, tetapi tidak dapat dipungkiri karya-karya
seperti ini mampu menjadi media kritik yang baik. Melalui tulisan, terutama
novel dalam hal ini, kritik disampaikan dengan alur dan masalah yang ada di
sekitar masyarakat sehingga nilai-nilai dapat disampaikan dengan baik tanpa terkesan
menggurui.
Sastra adalah media dalam menyampaikan buah
pikiran dan kritik sosial. Novel tidak hanya memuat mengenai cerita fiksi/non
fiksi dengan alur dan karakter yang menghibur tetapi juga yang mengandung
nilai-nilai di dalamnya. Sosial budaya adalah dua hal yang begitu dekat dengan
masyarakat. Gesekan antara budaya dan perkembangan masyarakat acapkali terjadi.
Persoalan ini lah yang sering diangkat oleh penulis sebagai ide dasar dalam
manulis novelnya yang kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi menarik
untuk dibaca.
Sastra perlawanan sudah ada di Indonesia sejak
pertama kali kemunculannya. Melalui media tulisan, seseorang menyalurkan
aspirasi dan kritiknya. Salah satu karya sastra yang menjadi media perlawanan
adalah novel. Sudah sejak jaman Belanda, novel dijadikan media perlawanan baik
terhadap pemerintah kolonial maupun tatanan budaya pada waktu itu. Sejak
didirikannya Balai Pustaka, perkembangan novel menjadi pesat. Namun, karena
kontrol pemerintah yang ketat, buku-buku yang diterbitkan hanya berkisar pada
novel yang pro terhadap pemerintah dan perlawanan terhadap kebudayaan.
Novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Nyai
Dasima adalah novel-novel yang bisa dikatakan sebagai pelopor. Kemunculan ketiga
novel tersebut dalam satu periode, yaitu periode balai pustaka, menunjukan
bahwa kritik sosial budaya sudah muncul bahkan sejak bangsa ini masih mendapat
tekanan dari bangsa lain.
Sekian guys, semoga banyak efek yang bisa menggugah diri untuk rajin membaca khususnya novel-novel keren karya sastrawan di indonesia. blog selanjutkan kita masih tentang tema yang sama Sastra perlawanan tapi kita akan ganti objeknya yaitu PUISI. Sampai di blog selanjutnya guys. Terima kasih, sudah mampiiir 😎
Sumber :
Suharso
dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2005).
Kusumohamidjojo,
Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia, (Yogyakarta: Jalasutra,
2010).
Islam
dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Teras,
2009).
Rachels,
Filsafat Moral, judul asli The Elements of Moral Philosophy, A.
Sudiarja (terj), (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
A.R
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002).
Komentar
Posting Komentar