Siti Nurbaya dan Sastra perlawanan
Sasper Jilid 1
Hai, saya akan mengulas sastra perlawanan pada beberapa novel yang
bertema sosial budaya. Jadi nanti akan terus saling bersinergi untuk novel yang
pertama akan saya bedah adalah novelnya Marah Rusli - Siti Nurbaya. Novel yang
tidak pernah usang dimakan waktu, dan siapapun pasti tau tentang cerita siti
nurbaya ini, tapi sebelum mengulas lebih dalam tentang novel siti nurbaya,
sebagai pengantar akan saya sajikan informasi mengenai, apa itu sastra
perlawanan. Sila untuk menikmati😁
SASTRA PERLAWANAN
Sastra bagai mata uang berkeping dua. Satu sisi adalah
keindahan dan di sisi lain adalah manfaat. Melalui keindahannya, terdapat
nilai-nilai yang disampaikan kepada khalayak luas. Horaitus, seorang peimikir asal
Romawi dalam bukunya yang berjudul Poetica
mengungkapkan istilah dulce utile
yaitu, karya sastra yang baik adalah karya yang menghibur dan bermanfaat bagi
pembaca. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan suatu
sastra dipengaruhi oleh kemampuan penulis mengolah kata. Seni dalam sebuah
karya sastra akan terasa apabila nilai estetika itu sampai pada penikmat seni.
Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu.
Begitu pula dengan manfaat yang akan tersampaikan jika pembaca dapat memahami
apa yang terkandung dalam karya tersebut.
Sastra perlawanan
sudah ada di Indonesia sejak pertama kali kemunculannya. Melalui media tulisan,
seseorang menyalurkan aspirasi dan kritiknya. Salah satu karya sastra yang
menjadi media perlawanan adalah novel. Sudah sejak jaman Belanda, novel
dijadikan media perlawanan baik terhadap pemerintah kolonial maupun tatanan
budaya pada waktu itu. Sejak didirikannya Balai Pustaka, perkembangan novel
menjadi pesat. Namun, karena kontrol pemerintah yang ketat, buku-buku yang
diterbitkan hanya berkisar pada novel yang pro terhadap pemerintah dan
perlawanan terhadap kebudayaan.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat sebagaimana
dikutip Budiono K, menegaskan bahwa, “menurut antropologi, kebudayaan adalah
seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.
Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan.
Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut
masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya.
Antara kebudayaan satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan
nilai-nilai hidup sebagai tradisi atau adat istiadat yang dihormati. Adat
istiadat yang berbeda tersebut, antara satu dengan lainnya tidak bisa dikatakan
benar atau salah, karena penilaiannya selalu terikat pada kebudayaan tertentu.
Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia dengan
kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya dengan nilai-nilainya menjadi
landasan moral dalam kehidupan manusia.
SITI NURBAYA
Kebudayaan
dan kehidupan sosial selalu mempunyai sisi gelapnya tersendiri. Kuatnya
pengaruh budaya dan sosial terhadap kehidupan membuat perannya menjadi cukup
sentral. Pakem-pakem dalam budaya dan kehidupan sosial tidak berubah dengan
secepat perkembangan jaman. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan sering
terjadi bentrok antara budaya dengan tuntutan jaman.
Novel
yang menunjukan kritik sosial budaya pada jaman kolonial yaitu Siti Nurbaya
karya Marah Rusli. Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Nyai Dasima G. Francis.
Karya Siti Nurbaya terbit dibawah naungan
Balai Pustaka yang merupakan satu-satunya percetakan resmi pada masa itu
sehingga kehadirannya dapat diterima dengan baik oleh smeua pihak. Novel yang
terbit pada 1922 ini mengisahkan tentang kisah percintaan antara anak manusia
yang terhalang oleh status sosial, budaya dan harta. Siti Nurbaya dan Samsul
Bahri adalah sahabat sejak kecil yang selalu bersama hingga timbul lah perasaan
cinta diantara mereka. Karena ingin menempuh pendidikan yang tinggi, Samsul Bahari
akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya. Pada saat itu lah, kehidupan Siti
Nurbaya sebagai anak bangsawan mendapat cobaan. Dengan kelicikan Datuk Maringgih, segala usaha milik
keluarganya dihancurkan dan membuat keluarga Siti Nurbaya jatuh bangkrut. Demi
membayar hutang-hutangnya kepada Datuk Mringgih maka, dinikahkanlah Siti
Nurbaya dengan Datuk Maringgih. Tak lama setelah itu, pulang lah Samsul Bahri
ke Padang dan mendapati Siti Nurbaya telah dipersunting oleh Datuk Maringgih
dengan cara tersebut maka, timbul lah perkelahian diantara mereka yang akhirnya
membuat Samsul Bahri diusir dari tanah kelahirannya. Nurbaya yang mendengar
kabar tersebut akhirnya diam-diam menyusul Bahri ke Jakarta, karena muslihat
Datuk Maringgih akhirnya Nurbaya kembali ke Padang dnegan tuduhan pencurian.
Karena tidak terbukti akhirnya Datuk Maringgih meracuni Nurbaya hingga tewas.
Sepuluh tahun kemudian, Samsul Bahri berhasil menjadi Letnan Mas dan menangani
masalah pajak di Padang, dan orang yang selalu menghindari pembayaran pajak
adalah Datuk Maringgih. Terjadilah pertempuran yang kemudian dimenangkan oleh
Samsul bahri dan menewaskan Datuk Maringgih.
Dalam
novel ini, ikatan budaya yang kuat tercermin dari tragedi yang terjadi di
dalamnya. Aturan ikatan saudara, kawin paksa, dan pengusiran akibat
ketidaksesuaian perilaku sebagai bentuk hukum adat. Aturan budaya yang
digunakan sesuai dengan latar tempat kejadian dalam novel ini yaitu budaya
Minang.
Dalam novel
ini diceritakan bahwa Samsul Bahri diharuskan meneruskan pendidikan setinggi
mungkin sedangkan Siti Nurbaya dinikahkan dengan Datuk Maringgih. Disini jelas
bahwa budaya pada masa itu tidak mementingkan perempuan untuk meneruskan
pendidikannya. Sedangkan, Samsul Bahri yang seorang laki-laki disuruh
melanjutkan pendidikannya ke Jakarta.
Struktur
masyarakat juga masih berperan penting disana. Kedudukan sebagai ayah Samsul Bahri
yang menjabat sebagai penghulu, merupakan jabatan yang cukup ternama,
membuatnya harus mengusir anaknya karena malu dan dianggap dapat mencoreng
namanya sebagai pejabat atas perbuatan anaknya yang berkelahi dengan Datuk Maringgih sehingga menyebabkan
meninggalnya ayah Siti Nurbaya.
Hal
tersebut menegaskan betapa suatu jabatan memberi gengsi sendiri dalam kehidupan
sosial. Kedudukan sebagai saudagar yang disandang oleh Datuk Maringgih juga
memberinya kekuasaan yang kemudian membuatnya menjadi orang yang licik dan
tamak. Orang-orang seperti ini justru dalam tatanan masyarakat mendapat hormat dan
dapat dengan mudah bebas dari hukum.
Dalam
karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang berlaku
pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Pelaku utamanya pada roman ini adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk
Maringgih.
Membaca
roman Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang
pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak
manusia, Siti Nurbaya dan Samsul bahri.
Pengarang, dalam hal
ini Marah Rusli sebagai pemuda terpelajar memiliki pemikiran jauh lebih maju
daripada masyarakat disekitarnya. Ia telah mengenal tata cara hidup dan kebudayaan asing yang sedikit banyak sangat
berpengaruh terhadap jiwanya. Dari dasar itu timbul gejolak pemberontak ingin
menerobos adapt lama yang mengungkung dengan ketat dan dianggap oleh Marah
Rusli sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi.
Digambarkan pula mengenai kedudukan wanita yang begitu
lemah dalam pusaran budaya. Diceritakan bahwa Siti Nurbaya bahkan tidak memiliki kekusaan atas dirinya
sendiri dalam menentukan hidupnya. Peran orangtua dan lingkungan masyarakat
mendominasi dalam hidupnya.
Batasan
nilai budaya dan sosial yang ada dalam novel ini bahkan masih dapat ditemukan
dalam masyarakat masa kini. Sehingga, jika novel ini dibaca pada masa kini pun
tetap dapat dijadikan acuan dalam kehidupan budaya dan sosial.
Fyi, teman-teman Novel yang menunjukan kritik sosial budaya pada jaman kolonial yaitu Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Nyai Dasima G. Francis. Nah, yang pertama Siti Nurbaya, setelah itu masih ada lagi 2 novel yang akan dibedah, semoga informasi ini bisa menambah wawasan tema-teman semua dalam dunia sastra. Terima kasih.
Sumber :
Suharso
dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2005).
Kusumohamidjojo,
Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia, (Yogyakarta: Jalasutra,
2010).
Islam
dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Teras,
2009).
Rachels,
Filsafat Moral, judul asli The Elements of Moral Philosophy, A.
Sudiarja (terj), (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
A.R
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002).
Komentar
Posting Komentar