Salah Asuhan dan Sastra Perlawanan


Sasper jilid 2

Guys, kembali lagi. Yang akan dituliskan hari ini adalah masih tentang novel yang menunjukan kritik sosial budaya yaitu novelnya Abdul Muis, Salah Asuhan. Bukan salah Bunda mengandung ya. Baiik, tidak perlu berlama-lama yu mari cuss~



Salah Asuhan

Pada 1928 masih dengan penerbit yang sama yaitu Balai Pustaka, muncul lah novel yang begitu terkenal karya Abdul Muis yang berjudul Salah Asuhan. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan seorang pria pribumi asal Solok bernama Hanafi yang bersekolah di HBS dan besar dalam pergaulan Belanda sehingga membuatnya bersikap layaknya orang Belanda asli dan tidak mau mengenal budayanya sendiri. Ia berkawan baik dengan seorang wanita Indo bernama Corrie namun, pada perkembangannya muncul lah perasaan cinta kepada wanita itu. Hubungan antara pribumi dan Indo adalah hal yang tabu pada masa itu sehingga, dengan keadaan seperti itu Corrie memilih menolaknya dan pergi ke Betawi. Ditengah rasa patah hati dan atas desakan ibunya karena hutang budi, Hanafi dipaksa menikah dengan Rapiah, anak mamaknya. Pernikahan itu tidak berjalan dengan baik walaupun sudah hadirnya seorang anak ditengah mereka yang bernama Syafi’i. Rapiah adalah seorang istri yang begitu penurut dan taat walaupun, seringkali ia dicaci maki oleh suaminya sendiri. Karena mendapat kecelakaan, Hanafi terpaksa berobat ke Betawi. Takdir akhirnya mempertemukan Hanafi dan Corrie disana. Tidak membuang waktu Hanafi meminang Corrie dan melupakan anak istrinya. Dengan terpaksa Corrie menerima pinangan itu, mereka menikah tanpa restu dari banyak pihak. Pernikahan mereka tidak berjalan dengan baik, perselisihan kerap terjadi, teman-teman Belanda mereka menjauh dan perubahan sikap yang nampak akhirnya membuat Corrie memutuskan untuk pergi ke Semarang dan meninggalkan Hanafi. Dengan segera Hanafi menyusul Corrie tetapi terlambat karena Corrie telah meninggal kerena terkena penyakit kolera. Hanafi pun kembali ke kempung halamannya dengan depresi. Ia pun menelan 6 butir sublimat yang membuat dirinya akhirnya meninggal dunia.
Dalam novel ini, kekuatan sosial budaya dalam masyarakat menjadi inti dari cerita. Pertentangan-pertentangan yang timbul dalam novel ini merupakan produk budaya. Pertentangan pernikahan menurut budaya adalah tema yang sering diangkat pada periode ini. Pengaruh Belanda juga masih kuat dirasakan.
Melalui novel ini, penulis mencoba untuk menyampaikan fenomena yang kerap terjadi diantara para cendikiwan yang memiliki pergaulan dengan Belanda semasa pendidikannya seringkali menjadi lupa akan budayanya sendiri. Bagi sebagian orang, gengsi sebagai orang terpelajar membuat seseorang menganggap bahwa masyarakat pribumi lainnya lebih rendah dari yang lainnya.
Strata sosial masih menjadi tolak ukur dalam pergaulan dan kehidupan. Kedudukan seseorang menjadi pertimbangan ketika mereka berada dalam masyarakat. Pada novel ini, kedudukan Hanafi sebagai orang terpelajar membuatnya memiliki tempat sendiri di kalangan Belanda. Dapat bergabung dalam pergaulan mereka dianggap memiliki strata yang lebih tinggi dari pada penduduk pribumi yang lainnya karena tidak semua pribumi dapat diterima oleh kalangan Belanda. Pesan ini disampaikan secara tersirat oleh Abdoel Moeis melalui watak tokoh Hanafi yang begitu mengagungkan Eropa setelah mengenyam pendidikan Belanda semenjak kecil. Gaya hidup dan pola pikir modern yang berarti kebelanda-belandaan bukan hanya milik Hanafi, tetapi juga milik sebagian generasi muda terpelajar Indonesia kala itu.  Melalui watak Hanafi ini, Abdoel Moeis juga mempermasalahkan pandangan kaum pribumi terhadap bangsa Eropa. Mereka dinilai terlalu berlebihan memandang hebat terhadap segala sesuatu yang berbau Eropa. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya melupakan kebudayaan sendiri, seperti yang dilakukan oleh Hanafi. Setelah menunjukan kehegemonian budaya barat dalam tokoh Hanafi, Abdoel Moeis pun memenangkan adat kawin campur yang sangat menyiksa batin Hanafi. Selanjutnya diberikanlah potret kemungkinan kedua, yaitu persatuan tokoh Corrie dengan Hanafi, yang ternyata hasilnya tidak jauh berbeda dengan perkawinan sebelumnya, yaitu melahirkan duka dan sengsara dikedua belah pihak.
Selain itu, sikap ambivalen Hanafi yang kembali pada adatnya menjelang kematiannya menyiratkan pesan bahwa sejauh apapun kita pergi dan menyelami negeri orang, pasti ada saat ketika kita rindu akan bangsa kita, tanah kelahiran kita. Inti dari pesan tersebut adalah jangan pernah melupakan budaya sendiri. Entah disengaja atau tidak Moeis telah mengingatkan akan bahaya kebudayaan Barat yang sekarang identik dengan kata “globalisasi”. Karena salah satu dampak negatif dari globalisasi adalah melupakan kebudayaan sendiri. Jika gagasan ini dibenarkan tentu novel Salah Asuhan telah berhasil mengangkat pesan tersebut puluhan tahun silam, maka patut kita akui keunggulannya.
Novel ini bahkan telah memberikan arahan, bahwa seorang pribumi sebaiknya bangga akan apa yang menjadi ciri khas bangsanya, sikap Hanafi yang sangat ambisius menjadi seorang Belanda adalah penjajahan dirinya sendiri oleh keinginannya.
Jika dilihat lebih jauh, kematian Hanafi bisa menjadi tolok ukur bahwa seorang Indonesia sudah sepatutnya bangga akan jati dirinya. Jika kita selalu bangga dan menerima arus kebarat-baratan dengan tangan yang lapang, tanpa datangnya bangsa barat ke Indonesia, Indonesia sudah bisa mati karena masyarakatnya sendiri. Karena penjajahan dalam hati seorang warga negara lebih mematikan dari penjajah bangsa manapun. Adalah suatu hal yang wajar apabila Ajip Rosidi berpendapat bahwa Roman ini adalah roman yeng terpenting diantara sekian terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an.
Semoga hadir dengan penuh keingintahuan, dan memberikan makna yang mendalam HEHEH sampai jumpa di sasper jilid ke-3. Terima kasih, telah mampir 😘😎
Sumber : 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memulai dari empati.

Mengulas, Si manis bergigi emas.

Pendidikan Era Digital